Rabu, 23 Juli 2025

cacat demokrasi kita

 


Dalam demokrasi seringki kita menganggap bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Apapun yang diputuskan oleh rakyat otomatis benar. Tapi apakah betul rakyat selalu benar? Jangan-jangan rakyat bisa salah atau bahkan sering salah? Saya adalah Martin Surajaya. Dalam ee video kelas pakar ini saya akan membicarakan tentang epistemologi politik demokrasi. [Tepuk tangan] [Musik] Epistemologi politik adalah suatu kajian di dalam filsafat di mana ee yang dibahas adalah dasar pengetahuan politik ya. Bagaimana seorang masyarakat,


rakyat, warga bisa mengetahui sesuatu secara politik. Ini agak beda dari epistemologi atau ee teori tentang pengetahuan yang biasa. di mana yang dipelajari biasanya kan bagaimana orang mengetahui sesuatu apapun itu ya. Tapi di dalam konteks epistemologi politik yang dibahas adalah bagaimana kita bisa tahu sesuatu secara politik. Ya, pengetahuan politik itu beda dengan pengetahuan sehari-hari ya. Karena kalau kita bicara misalnya air adalah H2O gitu, itu adalah pengetahuan yang benar di mana saja dan kapan saja ya. Air


adalah terdiri dari dua ee dua hidrogen dan satu oksigen gitu dari segi ee molekul-molekulnya gitu. Tapi kalau saya bilang bahwa misalnya demokrasi adalah sistem politik yang paling bagus ya mengalahkan aristokrasi ataupun autokrasi ini kan satu pernyataan yang sumber rujukannya adalah ke diri saya gitu. Artinya ketika saya bilang demokrasi adalah paling bagus itu artinya adalah saya adalah warga yang bukan siapa-siapa, bukan anak bangsawan, bukan anak raja sehingga saya merasa demokrasi lebih bagus. Artinya


pengetahuan politik selalu membawa di dalam dirinya itu suatu kepentingan ya, satu sudut pandang personal ya. berbeda dengan misalnya tadi air adalah H2O. Nah, ini yang membedakan pengetahuan biasa dengan pengetahuan politik. Problemnya kemudian adalah ketika pengetahuan politik itu selalu bersifat subjektif, maka selalu ada unsur ee perbedaan ya dari satu pengetahuan politik satu orang dengan orang yang lain gitu. ada orang yang misalnya dia adalah anak orang kaya atau anak yang orang yang terdidik gitu yang punya


pendidikan tinggi gitu, maka dia akan memandang bahwa sistem pemerintahan paling baik adalah sistem pemerintahan yang menghargai suara pakar gitu ya, bukan suara orang yang tidak punya pendidikan gitu. Karena hanya pakarlah yang tahu seperti apa caranya mengelola politik, mengatur urusan ekonomi dan seterusnya. Maka oleh karena itu dia kemudian akan cenderung memilih satu bentuk pemerintahan yang cocok dengan kepentingannya itu gitu. Nah, problemnya adalah ee apakah betul bahwa ada orang yang bisa mengklaim lebih tahu dalam


urusan politik lebih daripada orang yang lain gitu ya. Ini problem utama dalam epistemologi politik dan berkaitan dengan juga jantung problem dari demokrasi. Karena demokrasi kan selalu mengasumsikan semua orang punya pendapat yang sama gitu, yang setara dalam arti nilainya ya. Artinya kita biasa mengenal one man one vote gitu ya. Satu suara, satu orang satu suara gitu. Artinya suara seorang yang pendidikannya adalah SD sama dengan seorang yang pendidikannya adalah post graduate gitu ya, S3 ataupun pos doktoral gitu ya.


Semuanya sama sebagai dihitung satu ya suaranya. Kenapa demikian? Kenapa semuanya dihitung satu? Secara epistemologis landasannya sebetulnya adalah karena pengetahuan politik berkenaan dengan apa yang dirasa benar, dirasa baik, adil, dan seterusnya bagi setiap orang gitu. Dan itu yang menyebabkan pendapatnya seorang ahli dan pendapatnya seorang yang awam itu sama setara gitu. Karena tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim dia lebih tahu pendapat orang lain, lebih tahu makna hidup orang lain dibandingkan orang lain


itu sendiri gitu. Jadi misalnya ada seorang namanya Amin Muzakir ya yang kita enggak tahu siapa itu Amin Muzakir tapi kemudian ada orang yang mendalami seluruh latar belakang hidupnya Amin Muzakir itu meneliti sosiologisnya, ekonominya dan seterusnya sehingga dia sampai pada kesimpulan dia lebih tahu apa rasanya menjadi Amin Musakir daripada Amin Musakir sendiri. Pernyataan ini kan absurd ya. Enggak mungkin seorang bisa menjadi ahli di bidang orang lain ya, di bidang menjadi orang lain ya. Karena ee hanya setiap


orang sendirilah yang bisa punya klaim tentang pengetahuan dirinya sendiri. Nah, ini disebut di dalam filsafat epistemologi politik itu sebagai self knowledge ya, bagaimana seorang bisa tahu dirinya sendiri gitu. Jadi ada semacam asumsi di dalam filsafat itu bahwa ada transparansi antara perasaan seseorang dengan dirinya sendiri gitu. Jadi hanya orang yang tahu jatuh cinta yang bisa mengatakan seperti apa jatuh cinta gitu. Jadi hanya orang yang bersangkutan itulah yang tahu seperti apa rasanya mengalami sesuatu gitu.


orang yang enggak ngalamin, orang lain enggak akan bisa e mengakses pengetahuan itu. Nah, demokrasi itu sebetulnya berbasis pada asumsi seperti itu ya. Bahwa setiap orang ee selalu adalah pakar bagi dirinya sendiri, pakar bagi apa yang dianggap bernilai buat dirinya. Dan oleh karena itu tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mengklaim lebih tahu tentang dia dibanding dia, ya. lebih dari dia. Nah, problem dari kemudian yang muncul di dari asumsi transparansi pengetahuan diri ini adalah kalau gitu bagaimana dengan kasus-kasus


di mana orang sering salah menafsirkan dirinya sendiri. Misalnya orang mendiagnosis dirinya sendiri sebagai mengidap bipolar atau mengidap skizofrenia gitu. Tapi ternyata itu salah karena kan dia self diagnosis sendiri dan ternyata disimpulkan oleh ilmu psikiatri sebagai e diagnosisnya keliru dan seterusnya. Artinya ada kemungkinan bahwa orang salah tafsir terhadap perasaannya sendiri gitu. Nah, implikasinya kemudian kan orang bisa tidak betul tentang atau tidak paham betul tentang pendapat-pendapatnya


sendiri ya. Orang bisa salah bahkan terhadap dirinya sendiri gitu. Nah, implikasinya bagi demokrasi adalah kemudian seluruh pengetahuan politik yang dasarnya adalah transparansi tadi kemudian menjadi ee bermasalah gitu ya. Kemudian menjadi satu hal yang tidak tepat gitu ya. orang ternyata bisa ee mengalami kekeliruan ketika mengakses dirinya sendiri gitu dan juga mengakses kepentingan-kepentingannya. Di dalam politik ini dikenal sebagai problem ideologi ya. Kalau orang bicara ideologi sering orang mengartikan sebagai


kesadaran palsu ya dalam pengertian Marx misalnya orang seperti George Lucaks itu membedakan misalnya kesadaran diri seseorang yang aktual dengan kesadaran diri seseorang yang seharusnya atau imputed class consciousness ya. Eh kesadaran diri kelas yang seharusnya. Bedanya apa? Kesadaran diri aktual itu ya kesadaran kita tentang kepentingan kita hari ini gitu yang kita langsung alami. Misalnya kelas buru merasa bahwa kepentingan dia adalah kenaikan upah gitu. Jadi tuntutan ekonomi itu yang nomor satu gitu. Sedangkan tuntutan yang


lebih abstrak seperti misalnya mendirikan sosialisme, membangun suatu tatanan masyarakat tanpa kelas itu sesuatu yang prioritas kesekian karena dia enggak langsung ber berurusan dengan kepentingan dirinya yang langsung hari itu, gitu. Nah, ini yang disebut sebagai ee kesadaran yang sifatnya aktual ya. Nah, ini dibedakan dari kesadaran yang imputed tadi, kesadaran yang seharusnya. Nah, di dalam konteks kesadaran yang seharusnya, si kelas buruh ini seharusnya menginginkan bukan sekedar kenaikan upah, tapi perubahan sistem


secara keseluruhan, yaitu sosialisme misalnya. Artinya ada ada gap atau kesenjangan antara apa yang seharusnya ada dan apa yang sekarang ini dialami sebagai penting gitu ya. Itu dua hal yang berbeda. Dan ini ee yang disebut sebagai ideologi ya. seorang tuh terjatuh ke dalam ideologi atau kesadaran palsu ketika dia menganggap bahwa kesadaran dia yang sesungguhnya sama dengan kesadaran aktualnya sekarang gitu. Bahwa apa yang dia inginkan tuh bukan sosialisme, tapi sekedar tuntutan upah pun cukup gitu ya. Nah, ini adalah


problem dari ideologi. Nah, politik penuh dengan problem ideologi ini sehingga masalah tentang ee apa namanya? Menentukan ee pilihan di dalam konteks demokrasi menjadi problematis gitu ya. Orang enggak bisa diasumsikan tahu tentang apa yang memang betul-betul bagian dari kepentingannya. karena kepentingannya itu sering disalah tafsirkan oleh dirinya sendiri gitu ya. Dia mengira apa yang dia pentingkan adalah ee upah padahal yang sebetulnya yang penting adalah penghapusan segala bentuk eksploitasi gitu ya. Bahwa upah


itu satu ee hanyalah salah satu bentuk dari eksploitasi itu gitu. Nah, ini yang kemudian menjadi problem bagi demokrasi sehingga ee implikasinya adalah basis epistemologi seri demokrasi itu sebenarnya goyah ya, enggak enggak stabil gitu ya. Enggak ada satu fondasi yang bisa dipegang, yang bisa membuat kita membangun satu sistem politik demokratis yang benar, gitu. Kenapa? Karena ya tadi itu informasi tentang diri sendiri itu seringkali salah tafsir ya. Orang bisa salah tafsir terhadap dirinya sendiri. Ditambah lagi yang


kedua adalah faktor informasi di masyarakat yang seringkali asimetris. Ya, saya tahu tentang ilmu ekonomi, saya tahu tentang filsafat, tapi orang lain mungkin tidak tahu tentang ekonomi dan ilmu filsafat. Jadi ketika merumuskan kebijakan tentang bagaimana mengelola ee ekonomi sebuah negara, orang lain berpendapat lain dengan saya karena informasinya enggak simetris gitu. Nah, ini problem dari ee landasan epistemik demokrasi ya. Jadi pondasinya sebetulnya sangat-sangat rapuh dan ini yang membuat


kita mesti ee memikirkan ulang ya sebetulnya tatanan politik seperti apa sih yang memungkinkan demokrasi itu mesti diubah seperti apa sih sehingga bisa mengakomodasi kemungkinan bahwa rakyat itu bisa salah gitu. bahwa rakyat itu bisa menyalahi atau salah menafsirkan kepentingannya sendiri. Nah, ini adalah PR bersama di dalam epistemologi politik yang jawabannya ada banyak sekali tapi tidak satuun yang bisa dianggap sebagai jawaban final ya. Jawaban pertama misalnya adalah data kerasi. Asumsikan adanya satu sistem di


mana keseluruhan pendapat pribadi, pandangan orang, pengalaman, bahkan itu dimonitor 24 jam oleh satu sistem surveilance entah dalam bentuk sosial media ataupun dalam sensor biometrik. sehingga ketika hasil dari seluruh komputasi itu diinputkan ke sebuah AI atau mesin atau algoritma, dia akan bisa meng-compute ee langkah menuju satu tatanan masyarakat yang paling baik menurut apa yang dialami langsung oleh setiap orang, setiap warga negara, gitu. Nah, kalau itu diberlakukan artinya ee pemerintah enggak perlu ada. yang ada


hanyalah AI ya, yang bisa mengalokasikan semacam Google Map atau Waz gitu yang bisa mengarahkan kebijakan apa yang harus ditempuh sehingga rakyat ini bisa ee merealisasikan harapan-harapannya karena semuanya sudah dimonitor gitu. Asumsinya seperti itu. Ini tentu saja adalah satu kemungkinan yang kontroversial karena ini distopia artinya orang seperti tidak lagi punya kewenangan langsung terhadap ee menentukan apa yang dia mau kan. dia apa yang dia inginkan sudah langsung dianggap tergambar di dalam semua data


yang ditarik itu dari biometrinya dari semua interaksi dia di sosmet dan seterusnya itu sehingga apapun yang dihasilkan oleh data kerasi itu adalah suatu semacam agregasi dari semua pendapat orang ataupun pengalaman orang itu. Kemungkinan kedua adalah satu bentuk demokrasi yang disebut sebagai lotokrasi ya. Jadi demokrasi yang basisnya bukan lagi perwakilan publik dalam oleh para pakar atau calek dan seterusnya, tapi oleh para ee calon yang dipilih secara tak terbatas gitu ya. Artinya ada kemungkinan di mana orang


itu bisa dipilih secara random lewat mekanisme semacam loto atau undian gitu ya. Di mana semua orang itu berkesempatan sama menduduki jabatan sebagai pemerintah gitu ya. Bisa dirotasi selama misalnya 2 tahun sekali gitu ya. ee tiba-tiba dalam tahun ini yang terpilih sebagai seorang atau satu dewan pemerintah itu adalah misalnya ada tukang becak di sana, ada suir angkot, ada driver ojol gitu ya, ada profesor gitu. Nah, semua itu kalau dipilih secara random sampling maka otomatis akan merefleksikan distribusi umum dari


pengetahuan publik tentang politik ya. aspirasi publik itu dianggap tersalurkan dengan sendirinya oleh perwakilan yang dipilih acak secara random sampling itu. Nah, ini adalah satu kemungkinan kedua ya, bahwa ada satu model pemerintahan yang bisa mencerminkan kondisi aktual masyarakat tanpa harus ee kemudian kita memilih wakil-wakil yang dianggap lebih ahli gitu. Kita ambil aja representasinya atau cerminnya dalam bentuk random sampling. Itu itu. Yang kedua. Yang ketiga, yang terakhir adalah suatu sistem ya bentuk yang lebih


mendekati demokrasi ya, di mana kita akhirnya mau tidak mau adalah melakukan pemerintahan berdasarkan diskusi gitu. Artinya ya pendapat orang-orang itulah yang kemudian didengarkan satu persatu dan yang kemudian menjadi dasar untuk pengambilan kebijakan politik. Problem dari yang ketiga ini adalah menentukan siapa pihak yang harusnya paling banyak didengarkan dibanding yang lain gitu. Apakah kita harus mendengarkan suara pengusaha lebih banyak daripada buruh ataukah seorang ee apa heteroseksual


ketimbang homoseksual dan seterusnya. Jadi ini adalah problem dari yang ketiga ini bagai bagaimana menentukan siapa pihak yang paling punya kapasitas untuk bicara tentang suara keselur suara keseluruhan rakyat dalam sebuah republik. Nah, yang ketiga ini salah satu kemungkinannya adalah dengan mencari ee aktor dalam masyarakat yang kondisi diskriminasinya itu paling parah gitu ya. yang dia bukan hanya terdiskriminasi secara rasial, secara ekonomi, secara gender, secara apapun. Nah, di dalam kelompok sosial yang


paling terdiskriminasikan itulah terletak fondasi dari masyarakat. Ya, Marx menyebutnya sebagai kelas perletar, ya. Kelas yang menandai ketiadaan semua kelas karena di sana tidak ada kepemilikan yang sifatnya fix, ya. Kelas borjuis punya kepemilikan, kelas buru punya kepemilikan, tapi proletariat ini sebagai satu yang disebut di dalam manifesto itu sebagai kelas tanpa kelas. itu adalah kondisi masyarakat semacam itu. Itu wujudnya sekarang bisa bisa jadi adalah seorang ee warga dari suku bangsa minoritas e dengan orientasi


seksual yang kuir dengan tingkat ekonomi yang lemah ya atau kelas buruh seperti itu. Nah, ini adalah satu interseksi dari berbagai macam identitas yang berbeda yang bisa menyuarakan kepentingan seluruh masyarakat karena dia adalah pihak yang paling tertekan dalam masyarakat. kondisinya mencerminkan kondisi penindasan dari keseluruhan masyarakat itu. Jadi, ada tiga hal itu yang membuat yang memungkinkan kita bisa melihat ee masalah dari demokrasi dan mengajukan solusi terhadap permasalahan itu. Di


hadapan berbagai macam alternatif itu, kira-kira apa yang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini? Saya tidak bisa menjawabnya. Hanya teman-teman yang bisa menjawabnya mungkin di kolom komentar di bawah. Yeah.


cacat demokrasi kita

  Dalam demokrasi seringki kita menganggap bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Apapun yang diputuskan oleh rakyat otomatis benar. Tapi ap...